RSS

Makalah Peraturan UU o.36 Tahun Tentang Telekomunikasi, Azas dan Tujuan Telekomunikasi, Penyelenggaraan Telekomunikasi, Penyidikan dan Sanksi Administrasi serta Ketentuan Pidana

Makalah Etika & Profesi
Peraturan UU no.36 Tahun Tentang Telekomunikasi, Azas dan Tujuan Telekomunikasi,
Penyelenggaraan Telekomunikasi, Penyidikan dan Sanksi Administrasi serta Ketentuan Pidana
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika & Profesi
Dosen : Drs. H. Zaenal, M.Ag














Disusun Oleh :
Dewi Muharomah (13030108)
Santi Rahayu (13030109)
Melawati (13030110)
Lina Marlina (13030118)
Hasyanti (14030026)


SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER MARDIRA INDONESIA
PROGRAM STUDI KOMPUTERISASI AKUNTANSI DIPLOMA TIGA (KA-D3)
Jl. Soekarno Hatta No 211 , Bandung 40235, Jabar
Telepon: 022-5320382




KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah swt, atas rahmat dan karunia-Nya dengan ini tugas makalah mata kuliah Etika Profesi yang berjudul “Peraturan UU no.36 Tentang Telekomunikasi” terselesaikan tepat waktunya. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw, keluarga, sahabat, tabi’in, tabi’at, serta mudah-mudahan sampailah kepada kita selaku umatnya yang beriman.
Makalah ini diajukan sebagai bagian dari tugas mata kuliah Etika dan Profesi. Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini tidak dapat terselesaikan tanpa bantuan orang lain.
Mudah-mudahan atas segala bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penyusun, mendapat imbalan yang berlipat ganda dari Allah SWT.
Tak ada gading yang tak retak, Hanya pepatah itulah yang mungkin dapat menggambarkan bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu penyusun mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk kemajuan di masa mendatang.
Harapan penyusun semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca umumnya, serta penyusun khususnya.






Bandung, 20 Maret  2015


                                                                                                                      PENYUSUN




DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................ .................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................................... ................................ ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang                                                                                                                      ...... 1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................................. 1
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................................................... 2
1.4 Manfaat Penulisan............................................................................................................. 2
1.5 Sistematika Penulisan......................................................................................................... 3

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA KONSEP................................................................. 4
  2.1 Pengertian Undang-undang............................................................................................. 4
  2.2 Undang-undang kesehatan .............................................................................................. 4
  2.3 Asas dan Tujuan .............................................................................................................. 5
2.3.1 Pasal 2                                                                                                                  5
2.3.2 Pasal 3                                                                                                                  5

BAB III ISI                                                                                                                                   5
3.1 UU No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan......................................................................... 6         
3.2 Hak dan Kewajiban                                                                                                              6
3.3 Tanggung Jawab Pemerintah                                                                                              8
3.4 Sumber Daya Bidang Kesehatan                                                                                       ...... 9
3.5 Fasilitas Pelayanan Kesehatan......................................................................................... 12
3.6 Perbekalan Kesehatan ..................................................................................................... 15
3.7 Teknologi dan Produk teknologi....................................................................................... 17

BAB IV PENUTUP.................................................................................................................... 19
4.1 Kesimpulan ...................................................................................................................... 19
4.2 Saran................................................................................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA                                         













BAB I
PENDAHULUAN


1.1  LATAR BELAKANG

            Telekomunikasi merupakan salah satu infrastruktur penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam rangka mendukung peningkatan berbagai aspek, mulai dari aspek perekonomian, pendidikan, dan hubungan antar bangsa, yang perlu ditingkatkan melalui ketersediaannya baik dari segi aksesibilitas, densitas, mutu dan layanannya sehingga dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Beberapa alasan telekomunikasi perlu diatur adalah:
1.      Telekomunikasi merupakan suatu bidang yang menguasai hajat hidup orang banyak sehingga pengaturannya perlu dilakukan secara khusus agar sesuai dengan Prinsip Ekonomi indonesia yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).
2.      Telekomunikasi mempunyai arti penting karena dapat dipergunakan sebagai suatu wahana untuk mencapai pembangunan nasional dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
3.      Penyelenggaraan telekomunikasi juga mempunyai arti strategis dalam upaya memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintahan, mendukung terciptanya tujuan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta meningkatkan hubungan antar bangsa.Sejak tahun 1961, industri telekomunikasi di Indonesia telah mengalami kemajuan berarti dengan dimilikinya industri ini secara tunggal oleh perusahaan negara.

Menurut beberapa sumber, faktor yang memicu lahirnya UU No. 36 Tahun 1999 adalah:
1.      Perubahan teknologi;
2.      Krisis Ekonomi, Sosial dan Politik; serta
3.      Dominasi pemerintah dalam penyelenggaraan telekomunikasi dan proyek Nusantara21;
4.      Perubahan nilai layanan telekomunikasi dari barang publik menjadi komoditas;
5.      Teledensity  rendah;
6.      Masuknya modal asing di sektor telekomunikasi;
7.      Keterbatasan penyelenggara pada era monopoli dalam hal pembangunan  infrastruktur;
8.      Pergeseran  paradigma  perekonomiandunia,  dari  masyarakat  industri  menjadi  masyarakat   informasi;
9.      Praktik  bisnis yang tidak sehat di sektor telekomunikasi; dan
10.  Kurangnya sumber daya manusia di sektor telekomunikasi.


1.2  RUMUSAN MASALAH

1.   Apakah Undang-Undang No.36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi ?
2.   Bagaimanakah pasal-pasal yang menjelaskan tentang telekomunikasi ?
3.  Apakah fungsi Undang-Undang No.36 Tahun 1999 Tentang Kesehatan bagi    telekomunikasi ?

1.3  TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

    1.3.1    Tujuan Umum
Untuk mengetahui serta merangkum tentang Undang-Undang No.36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi.

    1.3.2    Tujuan Khusus
Untuk mengetahui secara spesifik tentang Undang-Undang No.36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi dan tujuannya.


  1.4  MANFAAT PENULISAN

    1.4.1    Penulis
Makalah ini diharapkan mampu menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi penulis, khususnya mengenai Undang-Undang No.36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi. Dan dapat memberi manfaat untuk mahasiswa/i program studi D-III Komputerisasi Akuntansi STMIK MARDIRA INDONESIA.

    1.4.2    Pendidikan
Makalah ini diharapkan menjadi kajian pustaka di Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer program studi D-III Komputerisasi Akuntansi, serta dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi mahasiswa/i program studi D-III Komputerisasi Akuntansi STMIK MARDIRA INDONESIA.







BAB II
LANDASAN TEORI DAN KERANGKA KONSEP

2.1 PENGERTIAN UNDANG-UNDANG
Undang-undang adalah peraturan yang dibuat untuk mengatur kehidupan bersama dalam rangka mewujudkan tujuan dalam bentuk Negara. Undang-undang dapat pula dikatakan sebagai kumpulan-kumpulan prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintah, hak rakyat, dan hubungan diantara kebudayaan.
            Menurut Drs. Jimmy Hassoloan, MM, dalam bukunya yang berjudul “Kewarganegaraan” Undang-undang dikatakan sebagai Norma atau aturan yang mengikat seluruh masyarakat di sebuah Negara.
Bisa dibayangkan jika suatu Negara tidak diadakan sebuah peraturan terkait maka warga negaranya tersebut akan mengalami krisis Norma.

2.2 TUJUAN UNDANG-UNDANG TELEKOMUNIKASI
Tujuan dari pembuatan UU No. 36 mengenai telekomunikasi ini agar setiap penyelenggara jaringan dan penyelenggara jasa telekomunikasi di Indonesia dapat mengerti dan memahami semua hal yang berhubungan dengan telekomunikasi dalam bidang teknologi informasi dari mulai azas dan tujuan telekomunikasi, penyelenggaraan telekomunikasi, penyidikan, sangsi administrasi dan ketentuan pidana. 
Jadi, kemajuan dalam bidang telekomunikasi ini tidak menimbulkan adanya keterbatasan dalam mengatur penggunaannya dibidang teknologi informasi, karena sebagaimana yang kita ketahui, bahwa telekomunikasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kehidupan teknologi informasi ini sebagai salah satu industri yang selalu mengalami perubahan yang sangat dinamis, baik dari teknologi, aplikasi, layanan dan tuntutan kebutuhan pemakai jasa.

2.3 BATASAN MASALAH

Dalam halnya mengenai keterbatasan UU Telekomunikasi No 36 Tahun 1999 ini, sejauh dari analisis kami bahwasannya tidak ditemui adanya sebuah keterbatasan mengenai pengaturan penggunannya dalam teknologi informasi, karena di dalamnya sudah dijelaskan sesuai dengan fungsi UU itu sendiri yaitu sebagai pengatur penyelenggara telekomunikasi antara penyelenggara dan pemakai jasa. Justru keberadaan UU ini dapat menjadi pilar dari proses penyelegaraan telekomunikasi negara yang demokratis, tidak adanya keterpihakan yang diuntungkan dengan UU ini. Dan melalui UU Telekomunikasi ini, penyelenggara dan pemakai jasa dapat memperoleh suatu kerangka pengaturan mengenai penggunaan telekomunikasi yang lebih sesuai dengan perkembangan teknologi informasi, sehingga industri telekomunikasi tetap tumbuh dan berkembang.
















BAB III
PEMBAHASAN

3.1 PENJELASAN UU No. 36 TENTANG TELEKOMUNIKASI
Undang-undang Nomor 36 Tahun tentang Telekomunikasi, pembangunan dan penyelenggaraan telekomunikasi telah menunjukkan peningkatan peran penting dan strategis dalam menunjang dan mendorong kegiatan perekonomian, memantapkan pertahanan dan keamanan, mencerdaskan kehidupan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintahan, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka wawasan nusantara, dan memantapkan ketahanan nasional serta meningkatkan hubungan antar bangsa. Perubahan lingkungan global dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang berlangsung sangat cepat mendorong terjadinya perubahan mendasar, melahirkan lingkungan telekomunikasi yang baru, dan perubahan cara pandang dalam penyelenggaraan telekomunikasi, termasuk hasil konvergensi dengan teknologi informasi dan penyiaran sehingga dipandang perlu mengadakan penataan kembali penyelenggaraan telekomunikasi nasional.

3.2    ISI UU No. 36 TENTANG TELEKOMUNIKASI
Isi dari UU No.  36  Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, sebagai berikut :

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya;
Alat telekomunikasi adalah setiap alat perlengkapan yang digunakan dalam
bertelekomunikasi;
Perangkat telekomunikasi adalah sekelompok alat telekomunikasi yang memungkinkan bertelekomunikasi;
Sarana dan prasarana telekomunikasi adalah segala sesuatu yang memungkinkan dan mendukung berfungsinya telekomunikasi;
a.   Pemancar radio adalah alat telekomunikasi yang menggunakan dan memancarkan
gelombang radio;
b.   Jaringan telekomunikasi adalah rangkaian perangkat telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi;
c.    Jasa telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan bertelekomunikasi dengan menggunakan jaringan telekomunikasi;
d.   Penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara;
e.   Pelanggan adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi berdasarkan kontrak;
f.     Pemakai adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang tidak berdasarkan kontrak;
g.   Pengguna adalah pelanggan dan pemakai;
h.   Penyelenggaraan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
i.     Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jaringan telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
j.     Penyelenggaraan jasa telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jasa telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
k.    Penyelenggaraan telekomunikasi khusus adalah penyelenggaraan telekomunikasi yang sifat, peruntukan, dan pengoperasiannya khusus;
l.     Interkoneksi adalah keterhubungan antarjaringan telekomunikasi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi yang berbeda;
m.  Menteri adalah Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2

Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri.

Pasal 3
Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antarbangsa.

BAB III
PEMBINAAN
Pasal 4
1)    Telekomunikasi dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.
2)   Pembinaan telekomunikasi diarahkan untuk meningkatkan penyelenggaraan telekomunikasi yang meliputi penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian.
3)   Dalam penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian di bidang telekomunikasi, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan secara menyeluruh dan terpadu dengan memperhatikan pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat serta perkembangan global.

Pasal 5
1)     Dalam rangka pelaksanaan pembinaan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pemerintah melibatkan peran serta masyarakat.
2)   Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa penyampaian pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat mengenai arah pengembangan pertelekomunikasian dalam rangka penetapan kebijakan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan di bidang telekomunikasi.
3)   Pelaksanaan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diselenggarakan oleh lembaga mandiri yang dibentuk untuk maksud tersebut.
4)   Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) keanggotaannya terdiri dari asosiasi yang bergerak di bidang usaha telekomunikasi, asosiasi profesi telekomunikasi, asosiasi produsen peralatan telekomunikasi, asosiasi pengguna jaringan, dan jasa telekomunikasi serta masyarakat intelektual di bidang telekomunikasi.
5)   Ketentuan mengenai tata cara peran serta masyarakat dan pembentukan lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 6
Menteri bertindak sebagai penanggung jawab administrasi telekomunikasi Indonesia.
BAB IV
PENYELENGGARAAN
Bagian Pertama
Umum

Pasal 7

1)    Penyelenggaraan telekomunikasi meliputi:
a.                  penyelenggaraan jaringan telekomunikasi;
b.                  penyelenggaraan jasa telekomunikasi;
c.                   penyelenggaraan telekomunikasi khusus.

2)   Dalam penyelenggaraan telekomunikasi, diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.                  melindungi kepentingan dan keamanan negara;
b.                  mengantisipasi perkembangan teknologi dan tuntutan global;
c.                   dilakukan secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan;
d.                  peran serta masyarakat.



Bagian Kedua
Penyelenggara

Pasal 8

1)    Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b, dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu:
a.                  Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
b.                  Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
c.                   badan usaha swasta; atau
d.                  koperasi.

2)   Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c, dapat dilakukan oleh:
a.                  perseorangan;
b.                  instansi pemerintah;
c.                   badan hukum selain penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi.

3)   Ketentuan mengenai penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 9
1)    Penyelenggara jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi.
2)   Penyelenggara jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi, menggunakan dan atau menyewa jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi.
3)   Penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), dapat menyelenggarakan telekomunikasi untuk:
a.                  keperluan sendiri;
b.                  keperluan pertahanan keamanan negara;
c.                   keperluan penyiaran.
4)   Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, terdiri dari penyelenggaraan telekomunikasi untuk keperluan:
a.                  perseorangan;
b.                  instansi pemerintah;
c.                   dinas khusus;
d.                  badan hukum.
5)   Ketentuan mengenai persyaratan penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Larangan Praktek Monopoli
Pasal 10

1)    Dalam penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di antara penyelenggara telekomunikasi.
2)   Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Bagian Keempat
Perizinan
Pasal 11

1)    Penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dapat diselenggarakan setelah mendapat izin dari Menteri.
2)   Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan memperhatikan:
a.                  tata cara yang sederhana;
b.                  proses yang transparan, adil dan tidak diskriminatif; serta
c.                   penyelesaian dalam waktu yang singkat.
3)   Ketentuan mengenai perizinan penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima
Hak dan Kewajiban Penyelenggara dan Masyarakat
Pasal 12

1)    Dalam rangka pembangunan, pengoperasian, dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi, penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah negara dan atau bangunan yang dimiliki atau dikuasai Pemerintah.
2)   Pemanfaatan atau pelintasan tanah negara dan atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku pula terhadap sungai, danau, atau laut, baik permukaan maupun dasar.
3)   Pembangunan, pengoperasian dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan dari instansi pemerintah yang bertanggung jawab dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 13

Penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah dan atau bangunan milik perseorangan untuk tujuan pembangunan, pengoperasian, atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi setelah terdapat persetujuan di antara para pihak.

Pasal 14

Setiap pengguna telekomunikasi mempunyai hak yang sama untuk menggunakan jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 15

1)    Atas kesalahan dan atau kelalaian penyelenggara telekomunikasi yang menimbulkan kerugian, maka pihak-pihak yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan ganti rugi kepada penyelenggara telekomunikasi.
2)   Penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali penyelenggara telekomunikasi dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh kesalahan dan atau kelalaiannya.
3)   Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 16

1)    Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib memberikan kontribusi dalam pelayanan universal.
2)   Kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk
          penyediaan sarana dan prasarana telekomunikasi dan atau kompensasi lain.
3)   Ketentuan kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 17

Penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib menyediakan pelayanan telekomunikasi berdasarkan prinsip:
a. perlakuan yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi semua pengguna;
b. peningkatan efisiensi dalam penyelenggaraan telekomunikasi; dan
c. pemenuhan standar pelayanan serta standar penyediaan sarana dan prasarana.

Pasal 18

1)    Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib mencatat/merekam secara rinci pemakaian jasa telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna telekomunikasi.
2)   Apabila pengguna memerlukan catatan/rekaman pemakaian jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara telekomunikasi wajib memberikannya.
3)   Ketentuan mengenai pencatatan/perekaman pemakaian jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 19

Penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menjamin kebebasan penggunanya memilih jaringan telekomunikasi lain untuk pemenuhan kebutuhan telekomunikasi.

Pasal 20

Setiap penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan prioritas untuk pengiriman, penyaluran, dan penyampaian informasi penting yang menyangkut:
a. keamanan negara;
b. keselamatan jiwa manusia dan harta benda;
c. bencana alam;
d. marabahaya; dan atau
e. wabah penyakit.

Pasal 21

Penyelenggara telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan
telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum.

Pasal 22

Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi:
a. akses ke jaringan telekomunikasi; dan atau
b. akses ke jasa telekomunikasi; dan atau
c. akses ke jaringan telekomunikasi khusus.

Bagian Keenam
Penomoran
Pasal 23

1)    Dalam penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi ditetapkan dan digunakan sistem penomoran.
2)   Sistem penomoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 24

Permintaan penomoran oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi diberikan berdasarkan sistem penomoran sebagaimana dimaksud dalam pasal 23.



Bagian Ketujuh
Interkoneksi dan Biaya Hak Penyelenggaraan

Pasal 25

1)    Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi berhak untuk mendapatkan interkoneksi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.
2)   Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyediakan interkoneksi apabila diminta oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.
3)   Pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan berdasarkan prinsip:
a.                  pemanfaatan sumber daya secara efisien;
b.                  keserasian sistem dan perangkat telekomunikasi;
c.                   peningkatan mutu pelayanan; dan
d.                  persaingan sehat yang tidak saling merugikan.
4)   Ketentuan mengenai interkoneksi jaringan telekomunikasi, hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 26

1)    Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib membayar biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi yang diambil dari prosentase pendapatan.
2)   Ketentuan mengenai biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedelapan
T a r i f
Pasal 27

Susunan tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau tarif penyelenggaraan jasa telekomunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 28

Besaran tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi ditetapkan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi dengan berdasarkan formula yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Bagian Kesembilan
Telekomunikasi Khusus
Pasal 29

1)    Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a dan huruf b, dilarang disambungkan ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya.
2)   Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf c, dapat disambungkan ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya sepanjang digunakan untuk keperluan penyiaran.

Pasal 30

1)    Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa
telekomunikasi belum dapat menyediakan akses di daerah tertentu, maka penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a, dapat menyelenggarakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b setelah mendapat izin Menteri.
2)   Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa
telekomunikasi sudah dapat menyediakan akses di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyelenggara telekomunikasi khusus dimaksud tetap dapat melakukan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi.
3)   Syarat-syarat untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 31

1)    Dalam keadaan penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan pertahanan keamanan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf b belum atau tidak mampu mendukung kegiatannya, penyelenggara telekomunikasi khusus dimaksud dapat menggunakan atau memanfaatkan jaringan telekomunikasi yang dimiliki dan atau digunakan oleh penyelenggara telekomunikasi lainnya.
2)   Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kesepuluh
Perangkat Telekomunikasi,
Spektrum Frekuensi Radio, dan Orbit Satelit
Pasal 32

1)    Perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan, dibuat, dirakit, dimasukkan dan atau digunakan di wilayah Negara Republik Indonesia wajib memperhatikan persyaratan teknis dan berdasarkan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2)   Ketentuan mengenai persyaratan teknis perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 33

1)    Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit wajib mendapatkan izin Pemerintah.
2)   Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit harus sesuai dengan
peruntukannya dan tidak saling mengganggu.
3)   Pemerintah melakukan pengawasan dan pengendalian penggunaan spektrum
frekuensi radio dan orbit satelit.
4)   Ketentuan penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang digunakan dalam penyelenggaraan telekomunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 34

1)    Pengguna spektrum frekuensi radio wajib membayar biaya penggunaan frekuensi, yang besarannya didasarkan atas penggunaan jenis dan lebar pita frekuensi.
2)   Pengguna orbit satelit wajib membayar biaya hak penggunaan orbit satelit.
3)   Ketentuan mengenai biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 35

1)    Perangkat telekomunikasi yang digunakan oleh kapal berbendera asing dari dan ke wilayah perairan Indonesia dan atau yang dioperasikan di wilayah perairan Indonesia, tidak diwajibkan memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
2)   Spektrum frekuensi radio dilarang digunakan oleh kapal berbendera asing yang berada di wilayah perairan Indonesia di luar peruntukannya, kecuali:
a.                  untuk kepentingan keamanan negara, keselamatan jiwa manusia dan harta benda, bencana alam, keadaan marabahaya, wabah, navigasi, dan keamanan lalu lintas pelayaran; atau
b.                  disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang dioperasikan oleh penyelenggara telekomunikasi; atau
c.                   merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak pelayaran.
3)   Ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 36

1)    Perangkat telekomunikasi yang digunakan oleh pesawat udara sipil asing dari dan ke wilayah udara Indonesia tidak diwajibkan memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
2)   Spektrum frekuensi radio dilarang digunakan oleh pesawat udara sipil asing dari dan ke wilayah udara Indonesia di luar peruntukannya, kecuali:
a.                  untuk kepentingan keamanan negara, keselamatan jiwa manusia dan harta benda, bencana alam, keadaan marabahaya, wabah, navigasi, dan keselamatan lalu lintas penerbangan; atau
b.                  disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang dioperasikan oleh penyelenggara telekomunikasi; atau
c.                   merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak penerbangan.
3)   Ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 37

Pemberian izin penggunaan perangkat telekomunikasi yang menggunakan spektrum frekuensi radio untuk perwakilan diplomatik di Indonesia dilakukan dengan memperhatikan asas timbal balik.

Bagian Kesebelas
Pengamanan Telekomunikasi
Pasal 38

Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi.

Pasal 39

1)    Penyelenggara telekomunikasi wajib melakukan pengamanan dan perlindungan terhadap instalasi dalam jaringan telekomunikasi yang digunakan untuk penyelenggaraan telekomunikasi.
2)   Ketentuan pengamanan dan perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 40

Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun.

Pasal 41

Dalam rangka pembuktian kebenaran pemakaian fasilitas telekomunikasi atas permintaan pengguna jasa telekomunikasi, penyelenggara jasa telekomunikasi wajib melakukan perekaman pemakaian fasilitas telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna jasa telekomunikasi dan dapat melakukan perekaman informasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 42

1)    Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang diselenggarakannya.
2)   Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas:
a.                  permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu;
b.                  permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang- undang yang berlaku.
3)   Ketentuan mengenai tata cara permintaan dan pemberian rekaman informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 43

Pemberian rekaman informasi oleh penyelenggara jasa telekomunikasi kepada pengguna jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan untuk kepentingan proses peradilan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), tidak merupakan pelanggaran Pasal 40.

BAB V
P E N Y I D I K A N
Pasal 44

1)    Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
2)   Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a.                  melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
b.                  melakukan pemeriksaan terhadap orang dan atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
c.                   menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku;
d.                  memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka;
e.                  melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang diduga digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
f.                    menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
g.                  menyegel dan atau menyita alat dan atau perangkat telekomunikasi yang digunakan atau yang diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
h.                  meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi; dan
i.                    mengadakan penghentian penyidikan.
3)   Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Hukum Acara Pidana.

BAB VI
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 45

Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 19, Pasal 21, Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 29 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal 33 ayat (2), Pasal 34 ayat (1), atau Pasal 34 ayat (2) dikenai sanksi administrasi.

Pasal 46

1)    Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 berupa pencabutan izin.
2)   Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diberi peringatan tertulis.

BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 47

Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 48

Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 49

Penyelenggara telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 50

Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 51

Penyelenggara telekomunikasi khusus yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) atau Pasal 29 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

Pasal 52

Barang siapa memperdagangkan, membuat, merakit, memasukkan atau menggunakan
perangkat telekomunikasi di wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 53

1)    Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (1) atau Pasal 33 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
2)   Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Pasal 54

Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau Pasal 36 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 55

Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 56

Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Pasal 57

Penyelenggara jasa telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 58

Alat dan perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 52 atau Pasal 56 dirampas untuk negara dan atau dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 59

Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51,Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, dan Pasal 57 adalah kejahatan.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 60
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Penyelenggara Telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi, tetap dapat menjalankan kegiatannya dengan ketentuan dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-undang ini dinyatakan berlaku wajib menyesuaikan dengan Undang-undang ini.

Pasal 61
(1) Dengan berlakunya Undang-undang ini, hak-hak tertentu yang telah diberikan oleh Pemerintah kepada Badan Penyelenggara untuk jangka waktu tertentu berdasarkan Undang-undang No. 3 Tahun 1989 masih tetap berlaku.
(2) Jangka waktu hak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipersingkat sesuai dengan kesepakatan antara Pemerintah dan Badan Penyelenggara.
                                                            Pasal 62
Pada saat Undang-undang ini berlaku semua peraturan pelaksanaan Undang-undang No. 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi (lembaran Negara Tahun 1989 No. 11, Tambahan Lembaran Negara No. 3391) masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-undang ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 63
Dengan berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 64
Undang-undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun setelah tanggal diundangkan.

3.3    Tujuan Penyelenggaraan Telekomunikasi

Tujuan penyelenggaraan telekomunikasi yang demikian dapat dicapai, antara lain, melalui reformasi telekomunikasi untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan telekomunikasi dalam rangka menghadapi globalisasi, mempersiapkan sektor telekomunikasi memasuki persaingan usaha yang sehat dan profesional dengan regulasi yang transparan, serta membuka lebih banyak kesempatan berusaha bagi pengusaha kecil dan menengah. Dalam pembuatan UU ini dibuat karena ada beberapa alasan,salahsatunya adalah bahwa pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang sangat pesat telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi dan untuk manjaga keamanan bagi para pengguna teknologi informasi.

3.4 Pembinaan Telekomunikasi
Telekomunikasi dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah. Mengapa demikian ? Pembuat undang-undang mempunyai arugumentasi karena mengingat telekomunikasi merupakan salah satu cabang produksi yang penting dan strategis dalam kehidupan nasional, maka penguasaannya dilakukan oleh negara, yang dalam penyelenggaraan ditujukan untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan dan kemakmuran rakyat. Dengan begitu pembinaan telekomunikasi diarahkan untuk meningkatkan penyelenggaraan telekomunikasi yang meliputi penetapan kebijakan, pengaturan, dan pengendalian.
Dalam penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian di bidang telekomunikasi, ini dilakukan secara menyeluruh dan terpadu dengan memperhatikan pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat serta perkembangan global. Fungsi penetapan kebijakan, antara lain, perumusan mengenai perencanaan dasar strategis dan perencanaan dasar teknis telekomunikasi nasional.
Fungsi pengaturan mencakup kegiatan yang bersifat umum dan atau teknis operasional yang antara lain, tercermin dalam pengaturan perizinan dan persyaratan dalam penyelenggaraan telekomunikasi. Fungsi pengawasan adalah pengawasan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi, termasuk pengawasan terhadap penguasaan pengusahaan, pemasukan, perakitan, penggunaan frekuensi dan orbit satelit, serta alat, perangkat, sarana dan prasarana telekomunikasi. Fungsi penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian dilaksanakan oleh Menteri. Sesuai dengan perkembangan keadaan, fungsi pengaturan, pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan telekomunikasi dapat dilimpahkan kepada suatu badan regulasi.

3.5 Peranserta Masyarakat Menyelenggarakan Telekomunikasi
Dalam rangka efektivitas pembinaan, pemerintah melakukan koordinasi dengan instansi terkait, penyelenggara telekomunikasi, dan mengikutsertakan peran masyarakat. Dalam posisi yang demikian, pelaksanaan pembinaan telekomunikasi yang dilakukan Pemerintah melibatkan peran serta masyarakat, berupa penyampaian pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat mengenai arah pengembangan pertelekomunikasian dalam rangka penetapan kebijakan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan di bidang 70 telekomunikasi.
Pelaksanaan peran serta masyarakat diselenggarakan oleh lembaga mandiri yang dibentuk untuk maksud tersebut. Lembaga seperti ini keanggotaannya terdiri dari asosiasi yang bergerak di bidang usaha telekomunikasi, asosiasi profesi telekomunikasi, asosiasi produsen peralatan telekomunikasi, asosiasi pengguna jaringan, dan jasa telekomunikasi serta masyarakat intelektual di bidang telekomunikasi. Ketentuan mengenai tata cara peran serta masyarakat dan pembentukan lembaga masih akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

3.6 Penanggungjawab Administrasi Telekomunikasi
Menteri bertindak sebagai penanggung jawab administrasi telekomunikasi Indonesia. Sesuai dengan ketentuan Konvensi Telekomunikasi Internasional, yang dimaksud dengan Administrasi Telekomunikasi adalah Negara yang diwakili oleh pemerintah negara yang bersangkutan. Dalam hal ini, Administrasi Telekomunikasi melaksanakan hak dan kewajiban Konvensi Telekomunikasi Internasional dan peraturan yang menyertainya.
Administrasi Telekomunikasi Indonesia juga melaksanakan hak dan kewajiban peraturan internasional lainnya seperti peraturan yang ditetapkan Intelsat (Internasional Telecommunication Satellite Organization) dan Inmarsal (Internasional Maritime Satellite Organization) serta perjanjian internasional di bidang telekomunikasi lainnya yang diratifikasi Indonesia.


3.7  Contoh Kasus

0 komentar:

Posting Komentar